Masjid Tuha Indrapuri

Minggu, 21 Juni 2015




Masjid  Tuha Indrapuri terletak di desa Pasar Indrapuri Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, ± 24 km dari kota Banda Aceh. Masjid ini terletak tidak jauh dari aliran Kreung Aceh. Masjid berkonstruksi kayu ini didirikan di atas reruntuhan bangunan  candi yang berkonstruksi batu.Masjid ini tidak memiliki dinding, namun menggunakan sisa-sisa tembok candi sebagai pembatasnya. Arsitektur atapnya masih menggunakan  kayu yang di susun sedemikian rupa.
Pada mulanya Masjid Tuha Indrapuri merupakan sebuah candi. Mesjid tersebut dibangun pada abad ke 10 M oleh sultan Iskandar Muda. Candi tersebut memang telah ada sebelum Islam mencapai wilayah Aceh, karena pengaruh Budha lebih dahulu ada daripada Islam. Manakala Islam memasuki wilayah Indrapuri , yang mana peradaban Budha di hapuskan menjadi peradaban Islam. Begitu pula candi tersebut di ubah menjadi masjid. Masjid ini menjadi saksi sejarah tempat dinobatkannya sultan Aceh terkhir yaitu Sultan Muhammad Daud Syah pada tahun 1878.
Dapat kita lihat bahwa bentuk masjid ini merupakan perpaduan mesjid dan benteng. Masjid ini dikelilingi oleh tembok yang mempunyai ketebalan ± 30 cm. Sekarang ini tembok-tembok tersebut tampak ada yang telah terkelupas dan banyak tumbuh jamur-jamur. Sehingga kurang enak di pandang. Kelihatan sekali objek sejarah ini tidak terawat dengan baik.




TEUKU NYAK ARIEF (1899-1946)

Kamis, 04 Juni 2015



Teuku Nyak Arif dan Panglima Polem sesungguhnya masih keluarga seketurunan dari Sultan Alauddin Inayat Syah Teuku Nyak Arif dilahirkan pada tanggal 17 Juli 1899 di Ulee Lheue, ayahnya bernama Teuku Nyak Banta yang mempunyai kedudukan sebagai Panglima Sagi 26 Mukim. Ibunya bernama Cut Nyak Rayeuk berasal dari Ulee Lheue. Teuku Nyak Arif mempunyai saudara kandung sebanyak 5 orang, 2 laki-laki dan 3 orang perempuan, yaitu Cut Nyak Asmah, Cut Nyak Mariah, Teuku Nyak Arif, Cut Nyak Samsiah dan Teuku Moh. Yusuf.
Di samping itu Teuku Nyak Arif juga mempunyai saudara seayah lain ibu, karena Teuku Nyak Banta mempunyai 3 orang istri. Agama Islam membolehkan adanya poligami, asal dapat bertindak adil dan dengan tujuan untuk menghindarkan seorang suami melakukan penyelewengan yang bertentangan dengan agama. Teuku Nyak Banta ternyata dapat bertindak adil, di mana ketiga istri beliau bisa hidup rukun dan damai dan dengan tulus melakukan tugas mereka masing-masing sebagai istri. Anak-anak Teuku Nyak Banta
9 walaupun berĂ¯ainan ibu, menganggap saudara-saudara mereka sebagai saudara kandung saja. Istri Teuku Nyak Banta yang kedua bernama Cut Nyak Cahaya. Dari istrinya ini Teuku Nyak Banta mendapat empat orang anak, yaitu Cut Nyak Ubit, Cut Nyak Tengoh, Cut Nyak Maneh dan Teuku Abdul Hamid. Dari istri yang ketigA. ketiga Teuku Nyak Banta mempunyai seorang anak, yaitu Teuku Daud. Rasa persaudaraan di antara anak-anaknya berhasil dibina oleh Teuku Nyak Banta.
Kebiasaan itu berlaku tidak hanya ketika beliau masih hidup, tetapi juga sesudah beliau meninggal dunia. Teuku Nyak Arif sebagai anak laki-laki tertua tidak membedakan saudara kandung dari saudara lain ibu. Teuku Abdul Hamid pemah disekolahkan ke negeri Belanda, padahal saudara kandungnya sendiri tidak pernah disekolahkan ke luar negeri. Pengurusan hal pembagian harta pusaka juga diserahkan Teuku Nyak Arif kepada Teuku Abdul Hamid. Kebiasaan seperti ini dapat berlaku di dalam keluarga Teuku Nyak Arif adalah berkat bimbingan dan didikan ayahnya yaitu Teuku Nyak Banta.
Semenjak masa kanak-kanak Teuku Nyak Arif termasuk anak yang cerdas, berani dan mempunyai sifat yang keras. Ia selalu menjadi pemimpin di antara teman-temannya, baik dalam pergaulan di sekolah maupun dalam pergaulan di luar sekolah. Permainan yang paling disenangi oleh Teuku Nyak Arif adalah sepak bola di permainan sepak bola ini ia selalu menonjol sebagai bintang lapangan.
Di samping berolah raga, Teuku Nyak Arif juga menyenangi kesenian. Ia dapat memainkan biola dengan baik. Di samping itu ia juga bisa bermain sulap yang dipertunjukkan dalam pertemuan sesama teman, sebagai hiburan dan rekreasi.

Setelah menyelesaikan pelajarannya di Sekolah Dasar Kutaraja yang sekarang bernama Banda Aceh, maka Teuku Nyak Arif dimasukkan oleh orang tuanya ke Sekolah Raja (Kweekschool) di Bukittinggi. Pada waktu itu jarak antara Banda Aceh dan Bukitinggi merupakan jarak yang jauh, apalagi hubungan belum lancar seperti sekarang. Menurut keyakinan orang tuanya Teuku Nyak Arif di samping menuntut pengetahuan juga harus menambah pengalaman dengan bersekolah di daerah lain. Teuku Nyak Arif dalam usia yang sangat muda telah hidup berpisah dari orang tua, saudara-saudara dan familinya.
Selama bersekolah di Bukittinggi dari tahun 1908 sampai tahun 1913 Teuku Nyak Arif termasuk anak yang pandai. Tiap tahun ia naik kelas dengan hasil yang memuaskan. Di samping itu ia juga mempunyai banyak teman, baik di dalam maupun di luar sekolah. Kegemarannya bermain sepak bola terus dilanjutkan, bahkan selama di Bukittinggi ia tetap menjadi bintang dalam sepak bola sekolah. Direktur Sekolah Raja Bukittinggi yang bernama B.J. Vissersangat senang kepada Teuku Nyak Arif, karena ia termasuk anak yang pandai sehingga ia selalu mendapat pujian. Teman-teman sedaerah dengan Teuku Nyak Arif yang juga bersekolah di Bukittinggi antara lain ialah: Teuku Ad, Teuku Moh. Ali dan Teuku Leman. Nama Teuku Nyak Arif pada waktu itu sangat terkenal di kalangan murid-murid Kweekschool yang oleh orang Indonesia disebut Sekolah Raja. Anak-anak Sekolah Raja di Bukittinggi sebagian besar ditempatkan di dalam asrama, lebih-lebih anak-anak yang berasal dari luar daerah Sumatera Barat.
Pergaulan anak-anak yang tinggal di dalam asrama umumnya lebih akrab dari yang tinggal di luar. Sekolah Raja Bukittinggi mempunyai dua jurusan yaitu jurusan Guru dan jurusan Pamong Praja (pemerintahan). Teuku Nyak Arif memilih jurusan Pamong Praja, karena ia adalah calon Panglima Sagi 26 Mukim. Nama baik Teuku Nyak Arif tersemat sebagai teladan yang indah dalam hati murid-murid Sekolah Raja yang berasal dari berbagai daerah di Pulau Sumatera. Sifat dan sikapnya yang cekatan, tutur kata yang ringkas tetapi tegas menjadi perhatian di sekolah, dan itulah sebabnya ia disegani oleh teman-teman seperguruan, terutama yang duduk di kelas yang lebih tinggi. Disamping  itu Teuku Nyak Arief dikenal sebagai orator ulung walaupun berbicara seperlunya saja, beliau juga gemar membaca terutama biuku-buku tentang ilmu politik dan pemerintahan serta memperdalam ilmu agamanya sehingga tidak mengherankan apabila beliau dalam usia muda telah berkecimpung dalam berbagai organisasi. Daerah Aceh sangat dikenal oleh penduduk Bukittinggi dengan nama Tanah Rencong, karena daerah itu terkenal dengan rencongnya.
Semenjak masa muda Teuku Nyak Arif telah mempunyai perasaan benei kepada orang Belanda. Pada waktu itu anak-anak bangsawan Aceh yang bersekolah di Bukittinggi mendapat tunjangan dari pemerintah sebesar 10 Gulden tiap bulan dengan perantaraan Residen Aceh H.N.A. Swart. Karena bencinya kepada pemerintah Hindia Belanda Teuku Nyak Arif tidak bersedia menerima uang itu.
Teuku Nyak Arif semenjak masa muda juga telah gemar membaca buku ilmu pengetahuan, terutama karya pemimpin-pemimpin terkemuka Indonesia. Tulisan yang paling disenanginya adalah tulisan Agus Salim. Kebetulan pada waktu itu Agus Salim sendiri sedang berada di Bukittinggi, membuka sekolah HIS partikelir di KotoGadang Bukittinggi dari tahun 1911 - 1915.
Pada tahun 1912 Teuku Nyak Arif melanjutkan pendidikannya ke OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) di Serang, Banten. Daerah yang dituju semakin jauh, serta pengetahuan dan pengalamannya semakin banyak. Makin lama Teuku Nyak Arif makin matang, terutama dalam bidang politik pemerintahan. Selama bersekolah di Serang (1912 - 1915), Teuku Nyak Arif memperdalam ilmu dalam bidang pamong praja sebagai lanjutan Sekolah Raja Bukittinggi.
Teuku Nyak Arif sangat sensitif terhadap Belanda, ia sering konflik dengan guru-guru dan direktur sekolah, orang Belanda. Teuku Nyak Arif sering tidak mengikuti peraturan yang dikeluarkan sekolah, terutama yang menyinggung perasaan nasional seperti cara hormat yang berlebihan terhadap guru. Akibat sikapnya ini Teuku Nyak Arif sering mendapat teguran dari guru-guru atau direktur sekolah. Tetapi walaupun begitu guru-guru dan pemimpin sekolah tidak berani bersikap keras terhadap anak-anak Aceh, karena pemerintah Hindia Belanda selalu berusaha mengambil hati orang-orang Aceh. Pemerintah Hindia Belanda mengetahui bahwa daerah Aceh merupakan api dalam sekam terhadap Belanda.
Pada tahun 1915 Teuku Nyak Arif pulang ke Aceh untuk ikut menyumbangkan tenaganya bagi pembangunan daerah. Pada tahun 1918 - 1920 ia bekerja sebagai pegawai urusan distribusi beras makanan rakyat (Ambtenaar bij de voedsel voorziening daerah Aceh.
Di samping bekerja di kantor, Teuku Nyak Arif juga mengikuti kegiatan politik. Pada tahun 1918 ia memasuki organisasi Nationale Indische Partij (NIP) yang mulanya bernama Insulinde,  yang diketuai oleh Douwes Dekker dan kawan-kawannya di Jakarta. kemudian Ia diangkat sebagai ketua N.I.P cabang Aceh.
Dalam kesehariannya dalam membantu membangun Aceh, beliau ikut membantu Aceh dalam wadah persatuan Hindia (Nusantara) serta mencurahkan perhatian untuk mensejahterakan rakyat Aceh yang pada saat itu masih dalam masa penjajahan. Pada tahun 1920 beliau diangkat menjadi panglima Sagi 26 mukim menggantikan ayahnya yang telah berumur lanjut. Kemudia pada tahun 1927 beliau diangkat menjadi anggota dewan rakyat (Volksraad) sampai tahun 1931.
Dalam menentang penjajahan Belanda, beliau membentuk organisasi bawah tanah (tahun 1932) dan menjadi momok yang menakutkan bagi pemerintahan Belanda. Pada akhir pemerintahan Belanda di Aceh beliau menuntut agar kekuasaan residen diserahkan kepadanya, namun karena tidak diserahkan oleh pemerintahan Belanda maka beliau melakukan pemberontakan terhadap mereka. Pada waktu Belanda telah kalah dan meninggalkan Kutaraja, maka Teuku Nyak Arif diangkat oleh rakyat menjadi Ketua Komite
Pemerintahan Daerah Aceh. Ia telah berhasil mengisi kekosongan kekuasaan di Aceh sewaktu Belanda kalah dan sesuai dengan perhitungan strategi militer, kekosongan itulah yang menjadi sasaran utama. Hanya di Aceh terdapat gerakan yang demikian untuk mengisi
kekosongan yang dipelopori dan dipimpin oleh Teuku Nyak Arif dan kawan-kawannya. Bahkan gerakan itu meluas sampai ke barisan KNIL akibat pengaruh Teuku Nyak Arif. Ia menuntut penyerahan pemerintahan kepada rakyat dan pembentukan suatu tentara rakyat
Jepang mendarat di Aceh pada tanggal 12 maret 1942 dan itulah adalah kunci untuk mengusir Belanda dari tanah Aceh. Pendaratan jepang dilakukan di Ujong Batee, Teluk Balohan (Sabang), dan di Kuala Bugak Peureulak (Aceh Timur). Jepang disambut dengan gegap gempita oleh penduduk Aceh dengan semangat persaudaraan, sebagaimana semboyan Jepang tatkala datang ke Indonesia untuk membebaskan dari penjajahan Belanda.
Pasukan Belanda di Aceh yang dipimpin oleh Kolonel Gosenson, memindahkan markas besarnya ke Takengon dengan kekuatan 2.000 tentara. Tentara Belanda pada mulanya hendak melakukan perang gerilya dalam menghadapi Jepang, tetapi ternyata gagal karena tidak
didukung oleh rakyat Aceh. Perang di Aceh ternyata berjalan amat cepat karena:
·         Pasukan Jepang bergerak amat cepat,
·         Rakyat Aceh juga melawan Belanda,
·         Pasukan Hindia Belanda bukan pasukan tempur yang baik.
Pada tanggal 28 Maret 1942 Mayor Jenderal Overakker dan Kolonel Gosenson menyerah kepada Jepang di daerah Kotacane. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Belanda di daerah Aceh untuk selama-lamanya. Buat sementara ia diganti oleh Jepang yang telah disambut oleh rakyat dengan gembira. Akan tetapi kegembiraan itu tidak akan berlangsung lama, karena penjajah yang baru itu ternyatajauh lebih kejam lagi, sehingga rakyat Aceh harus berontak lagi.
Sesudah berkuasa di Indonesia, Jepang berusaha mengambil hati rakyat Indonesia, dengan mengatakan bahwa kedatangan mereka ke Indonesia adalah untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penindasan bangsa kulit putih. Jepang akan membentuk daerah kemakmuran bersama Asia Timur Raya. Solidaritas Asia menentang Barat di bawah hegemoni Jepang merupakan suatu ide yang bagaimanapun akan memancing sambutan lunak dari orang Indonesia. Pemimpin Indonesia yang diasingkan oleh pemerintah Hindia Belanda
seperti Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta dibebaskan kembali oleh
Jepang.
Sistem pemerintahan Hindia Belanda terus dilanjutkan. Pulau Sumatera dibagi menjadi 9 keresidenan. Tiap-tiap daerah keresidenandiberi pemerintahan sendiri-sendiri yang diperintah oleh seorang Residen (Shu Cokang). Aceh dijadikan satu karesidenan yang diperintah seorang Residen. Teuku Nyak Arif diangkat oleh pemerintah militer Jepang sebagai penasehat pemerintah militer daerah Aceh. Bahkan pada zaman permulaan pendudukan Jepang, Teuku Nyak Arif diangkat sebagai penasehat terkemuka, karena pemerintah Jepang sudah mengetahui bahwa ia adalah pemimpin terkemuka di Aceh.
Sebenarnya Teuku Nyak Arif telah melihat bahaya yang akan timbul akibat penjajahan Jepang ini. Tetapi walaupun begitu jalan satu-satunya untuk menyelamatkan rakyat adalah menerima kerja sama dengan Jepang. Ia tidak pernah bekerja sungguh-sungguh dengan Jepang, sebaliknya pemerintah Jepang betul-betul mengharapkan bantuan dari Teuku Nyak Arif. Sebagai pemimpin terkemuka di Aceh, beliau diangkat sebagai Gunco di Kutaraja, Teuku Panglima Polim sebagai Gunco di Seulimeum dan Teuku Hasan Dik menjadi Gunco di Sigli.
Sebagai manifestasi dari ketidaksenangan Teuku Nyak Arif terhadap Jepang ialah ucapannya sebagai berikut: Kita usir anjing, datang babi. Babi lebih. jahat dari anjing, penjajahan Jepang lebih jahat dari penjajahan Belanda. Analisa Teuku Nyak Arif ini ternyata benar. Jepang yang pada mulanya datang sebagai sahabat, kemudian mengambil tempat Belanda yang lama sebagai penjajah.
Setelah tiga tahun menjajah Aceh, akhirnya  tersiar kabar bahwa Jepang telah kalah perang dengan pasukan sekutu yang dipimpin oleh Amerika Serikat yang ditandai dengan dijatuhkannya dua bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Pada tanggal 14 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada pasukan sekutu.
Bersamaan dengan kekalahan Jepang itu, Soekarno- Hatta telah kembali pula ke Jakarta sesudah menemui Marsekal Terauci di Saigon. Soekarno dan Hatta, sebagai pemimpin Indonesia terkemuka waktu itu segera mengadakan pertemuan dengan pemimpin Indonesia lainnya. Sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan dipersiapkan dengan matang, maka pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur No. 56 pukul 10.00 pagi diproklamasikan kemerdekaanIndonesia ke seluruh pelosok tanah air dan seluruh penjuru dunia.
Berita proklamasi kemudian diterima oleh pemuda Gazali dan Rajalis, diteruskan kepada Teuku Nyak Arif. Instruksi selanjutnya diterima melalui Radiogram dari Bukittinggi yang dikirim oleh Adinegoro. Teuku Nyak Arif memanggil tokoh penting sesudah raenerima
berita itu. Di hadapan pemimpin-pemimpin Aceh ia menyatakan sumpah setia kepada Negara Republik Indonesia.
Pada tanggal 28 Agustus 1945, Teuku Nyak Arif dipilih dan diangkat menjadi ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Aceh, dengan Tuanku Mahmud sebagai wakilnya. Untuk memikul biaya perjuangan yang semakin berat maka Teuku Nyak Arif telah menjual
harta benda pribadinya, termasuk segala perhiasan emas milik istrinya, begitu juga Tuanku Mahmud. Revolusi berjalan terus, rakyat Aceh yang terkenal heroik terhadap penjajahan Belanda dan Jepang, pada saat itu telah bertekad mempertahankan kemerdekaannya. Jalan revolusi harus dipimpin dan diarahkan. Untuk mengarahkannya aparat pemerintahan harus disempurnakan.
Perjuangan terus ditingkatkan aparatur terus disempurnakan untuk menjamin kesuksesannya revolusi. Walaupun hubungan dengan pusat tidak selancar seperti sekarang, tetapi garis yang ditetapkan oleh pusat sedapat mungkin dilaksanakan. Di Aceh juga dibentuk
Angkatan Pemuda Indonesia (API) oleh Teuku Nyak Arif yang dikepalai oleh perwira Syamaun Gaharu. Setelah susunan API untuk seluruh Aceh disepakati maka atas anjuran Teuku Nyak Arif dikirimlah kurir menemui orang-orang penting, menyampaikan apa
yang telah diputuskan dan melaksanakan putusan itu dengan penuh tanggung jawab, serta mempersiapkan segala sesuatu sambil menunggu perintah dan pengumuman selanjutnya.
Dalam bulan-bulan pertama Proklamasi, pemerintah RI mendasarkan kekuatannya pada bidang diplomasi, tidak pada bidang fisik militer. Itulah sebabnya tidak segera dibentuk tentara sebagai tulang punggung negara yang baru diproklamasikan itu. Kemudian atas desakan tokoh-tokoh terkemuka, maka Pemerintah RI mengeluarkan dekrit pada tanggal 5 Oktober 1945 dengan mengubah nama BKR menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Di
daerah Aceh pimpinan TKR dipegang oleh Syamaun Gaharu.

Di samping adanya TKR, laskar-laskar rakyat masih tetap berdiri. Laskar-laskar ini dimaksudkan untuk membantu TKR dalam mencapai kemerdekaan. Laskar yang terbesar di Aceh adalah Mujahiddin, yang mempunyai divisi Tengku Cik Ditiro dan Divisi Paja Bakung. Teuku Nyak Arif sebagai Residen Aceh mempunyai pengaruh besar di kalangan TKR yang dipimpin Syamaun Gaharu.
Di antarapemimpin itu sudah tentu terjadi persaingan untuk memegang kekuasaan
di Aceh, terutama antara golongan Ulama dan golongan Uleebalang. Dengan alasan Teuku Nyak Arif dari golongan Uleebalang, maka datanglah desakan kepada Komite Nasional Indonesia, untuk menonaktifkan Teuku Nyak Arif dan mengasingkannya ke Takengon. Desakan ini mendapat dukungan. penuh dari kelompok TPR disokong oleh PESINDO, yang juga mempunyai ambisi untuk menggantikan Teuku Nyak Arif.
Penangkapan terhadap Teuku Nyak Arif dilakukan  oleh Tentara Perlawanan Rakyat (TPR), pada saat itu beliau sedang sakit, yang dilakukan secara baik baik dan dengan penghormatan, karena mereka itu tahu pengaruh Teuku Nyak Arif masih besar. Kepada keluarganya dikatakan bahwa Teuku Nyak Arif akan dibawa untuk beristirahat, dan kebetulan waktu itu masih sakit. Kemudian Teuku Nyak Arif dibawa ke Takengon dengan sebuah sedan, dikawal oleh dua orang anggota TPR yang berpakaian hitam dan bertopeng. Sesudah sebulan berada di Takengon baru keluarganya dibolehkan menyusul mengunjunginya. Walaupun begitu karena perawatannya kurang sempurna maka penyakit Teuku Nyak Arif makin bertambah berat. Keluarga Teuku Nyak Arif yang diizinkan menunggu selama di Takengon adalah istrinya Cut Nyak Jauhari, anak-anaknya Teuku Syamsul Bahri dan Cut Nyak Arifah Nasri, serta adikya Teuku AbdulHamid.
Dalam keadaan sakit Teuku Nyak Arief masih dapat memikirkan keadaan rakyat Aceh umumnya. Sehubungan dengan keadaan sakitnya semakin bertambah parah, kesehatannya semakin kritis, dan ajal pun tak dapat ditolak. Beliau berpulang ke rahmatullah di samping isteri beliau beserta adik-adiknya, tepatnya pada tanggal 4 Mei 1946 di Takengon. Jenazahnya dikebumukan di komplek makam keluarganya di Lamreung, lebih kurang dua kilometer dari Lamnyong. 


Referensi:
Mardanas Safwan, Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arif, Jakarta: Balai Pustaka, 1992
Abdurrahman, G dkk, Biografi Pejuang-pejuang Aceh, Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Aceh, 2002


Nama                        : Muhammad Syauqi
Unit                           : 02
NIM                          :140501047
Jurusan                       : Sejarah dan Kebudayaan Islam
Fakultas/Universitas    : Adab dan Humaniora/ UIN ArRaniry, Banda Aceh